Senin, 22 April 2013

KINETIKA INTERAKSI OBAT-RESEPTOR




         Secara umum interaksi antara obat dengan reseptor adalah mudah lepas dan reversibel, dan tidak melibatkan ikatan kimia yang kuat. Analogi aksi obat pada reseptor adalah konsep kunci ( obat ) dengan gembok ( reseptor ). Asumsi sederhana mengenai pembentukan kompleks obat dengan reseptor diekspresikan sebagai reaksi kimia seperti berikut :  ( Nugroho, 2012 )
           Obat + Reseptor             kompleks obat – Reseptor
          Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut  Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang kencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada( Nugroho, 2012 )
          Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon, neurotransmitor) Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonit binding site ) disebut antagonis ( Nugroho, 2012 )
           Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah reseptor(Mycek, 2001)
Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis  untuk ligand endogen (hormone, neurotransmitter). Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis.  Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik sehingga sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. Disamping itu, ada obat yang  jika berikatan dengan reseptor fisiologik akan menimbulkan efek intrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, yang disebut agonis negative( http://arimjie.blogspot.com)
Protein merupakan reseptor obat yang paling penting (misalnya reseptor, fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin, dsb). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting. Misalnya untuk sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya,  merupakan campuran berbagai ikatan kovalen diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan yang kuat sehingga lama kerja obat seringkali, tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian, ikatan nonkovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen( http://arimjie.blogspot.com).
Hubungan Sturuktur-Aktivitas. Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas intrinsiknya. Sehingga perubahan kecil dalam molekul obat. Misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar pada sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesisi obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Reseptor Fisiologik. telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah mikromolekul seluler tempat obat terikat untuk menimbulkan efeknya. Sedangkan reseptor fisiologik adalah protein seluler yang secara  normal berfungsi sebagai reseptor  bagi ligand endogen, terutama hormoin neurotransmitter, growth factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi peningkatan ligant yang sesuai (oleh ligand binding domain) dan penghantar sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memulai sintesis atau penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second messenger( http://arimjie.blogspot.com).
Secara umum, hebatnya reaksi toksis berhubungan langsung dengan tingginya dosis.dengan mengurangi dosis, efek dapat dikurangi pula. Salah satu efek toksis yang terkenal yaitu efek teratogen yaitu obat yang pada dosis terapeutik untuk ibu, mengakibatkan cacat pada janin. Yang terkenal adalah kasus Thalidomide.
Selain efek toksis dan efek samping yang telah disebut diatas, dikenal juga beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi didalam tubuh sebagai respon dari pemberian obat - obatan kedalam tubuh yaitu sebagai berikut :
A. Toleransi
Toleransi adalah peristiwa dimana dosis obat harus dinaikkan terus menerus untuk mencapai efek terapeutik yang sama. Macam - macam toleransi yaitu :
a. Toleransi primer (bawaan), terdapat pada sebagian orang dan binatang tertentu
misalnya kelinci sangat toleran dengan atropin.
b. Toleransi sekunder, yang bisa timbul setelah menggunakan suatu obat selama beberapa waktu. Organisme menjadi kurang peka terhadap obat tersebut. Hal ini disebut juga dengan habituasi atau kebiasaan.
c. Toleransi silang, dapat terjadi antara zat - zat dengan struktur kimia serupa (fenobarbital dan butobarbital), atau kadang - kadang antara zat - zat yang berlainan misalnya alkohol dan barbital.
d. Tachyphylaxis, adalah toleransi yang timbul dengan pesat sekali bila obat diulangi dalam waktu singkat. Mekanisme ini dipengaruhi oleh peningkatan biotranformasi dan adaptasi reseptor. Proses ini dapat dikarakteristikkan sebagai reseptor down regulation (pengurangan jumlah atau afinitas reseptor) atau reseptor  upregulation  (peningkatan jumlah atau afinitas reseptor .
B. Habituasi atau Kebiasaan
Habituasi atau kebiasaan adalah suatu peristiwa dimana organisme menjadi kurang peka terhadap suatu tertentu yang disebkan karna terlalu sering mengkonsumsi suatu obat. Habituasi dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu dengan induksi enzym,
reseptor sekunder, dan penghambatan resorpsi. Dengan meningkatkan dosis obat secara terus menerus maka pasien dapat menderita keracunan, karena efek sampingnya menjadi lebih kuat pula. Habituasi dapat diatasi dengan menghentikan pemberian obat dan pada umumnya tidak menimbulkan gejala - gejala penghentian (abstinensi) seperti halnya pada adiksi.



C. Adiksi atau Ketagihan
adiksi atau ketagihan berbeda dengan habituasi dalam dua hal yakni adanya ketergantungan jasmaniah dan rohaniah dan bila pengobatannya dihentikan maka dapat menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental.
D. Resistensi Bakteri
Resistensi bakteri adalah suatu keadaan dimana bakteri telah menjadi kebal terhadap obat karena memiliki daya tahan yang lebih kuat. Resistensi dapat dihindari dengan menggunakan dosis obat yang lebih tinggi dibanding dengan dosis minimal dalam waktu pendek dan menggunakan kombinasi dari dua macam obat atau lebih.
E. Dosis
Dosis yang diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diinginkan tergantung dari banyak faktor antara lain : usia, dan berat badan. Takaran pemakaian obat umumnya tercantum dalam Farmakope. Sebenarnya yang umum dipakai sekarang adalah dosis lazim (usual dosis).Anak - anak kecil terutama bayi yang baru lahir menunjukkan kepekaan yang lebih besar terhadap obat, karena fungsi hati, ginjal serta enzim - enzimnya belum lengkap perkembangannya. Demikian juga terjadi pada orang tua diatas 65 tahun.
F. Waktu menelan obat
Bagi kebanyakan obat waktu ditelannya tidak begitu penting, yaitu sebelum atau sesudah makan. Tetapi ada pula obat dengan sifat atau maksud pengobatan khusus guna menghasilkan efek maksimal atau menghindarkan efek samping tertentu.
Agar berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan derajat spesifitas tinggi.
Interaksi obat-reseptor dipengaruhi oleh :
     a.  Distribusi muatan elektronik dalam obat dan reseptor
     b.  Bentuk konformasi obat dan reseptor.
          Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan teori kecepatan(http://sarmoko.blog.unsoed.ac.).
1. Teori Klasik
            Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat karakteristik(http://sarmoko.blog.unsoed.ac.).
           Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh              Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi obat reseptor  yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat(http://sarmoko.blog.unsoed.ac.)


.

2. Teori Pendudukan
           Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan obat harus  diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks. (http://sarmoko.blog.unsoed.ac.)
Obat (O) akan  berinteraksi dengan reseptor (R) membentuk kompleks obat-reseptor (OR), dan menghasilkan efek biologis. A.J.Clark, yang pertama kali menerapkan prinsip matematika pada teori reseptor obat. Ia mengkaji efek asetilkolin pada berbagai jaringan terpisah dan mencatat bahwa hubungan antara konsentrasi obat dan respon berkaitan erat dengan persamaan :
Description: clip_image002(1)
Di mana x adalah konsentrasi obat dan y adalah persentase dari respon maksimal terhadap obat. Penyusunan ulang dari persamaan (1) menghasilkan bentuk persamaan isoterm adsorbsi Langmuir :
Description: clip_image004(2)
Clark menerbitkan suatu risalah pada tahun 1937 yang merangkum dan mengembangkan teori tentang interaksi obat – reseptor. Masalah utama pada saat itu adalah kurangnya pengetahuan tentang hubungan antara pendudukan reseptor dan respon jaringan. Oleh karena itu, asumsi yang paling sederhana yang dibuat oleh Clark dalam risalah itu adalah :
· Respon maksimum terhadap suatu obat (Em) adalah respon maksimum jaringan
· Respon jaringan fraksional (EA/Em) berbanding langsung dengan pendudukan reseptor fraksional( http://arimjie.blogspot.com).
(Description: clip_image006).

Dalam hal ini, persamaan berikut menggambarkan respon obat A dalam jaringan, sebagaimana dijelaskan oleh Clark :
Description: clip_image008(3)
Di mana KA adalah tetapan disosiasi kesetimbangan kompleks obat-reseptor. Clark mengakui bahwa hubungan antara pendudukan reseptor oleh suatu obat dan menghasilkan respon tidaklah linier pada kebanyakan kasus, dan efek obat, sebagaimana digambarkan pada persamaan (3), terbatas (http://arimjie.blogspot.com).
           Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau  dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis )
           Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Tetapan ini digunakan untuk menjawab fakta bahwa sebagian agonis menghasilkan respon maksimum yang lebih kecil daripada respon maksimum terhadap agonis lain. Ia menyebut tetapan pembanding ini sebagai aktivitas intrinsik (disimbol α); penyisipan faktor ini memberikan efek obat sebagai :
Description: clip_image014(4)
Skala untuk α adalah 1 untuk agonis penuh, dan 0 untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon jaringan langsung. Nilai α = 0,4 berarti bahwa agonis mampu menghasilkan 40% dari respon maksimum jaringan (agonis parsial). Meskipun hal ini merupakan rintisan jalan untuk membuat model efek obat yang lebih berhubungan erat dengan hasil eksperimen, namun masih belum ada bukti pengamatan bagaimana agonis menghasilkan respon maksimum pada nilai pendudukan reseptor yang relatif lebih rendah. Seorang farmakolog Inggris, R.P.Stephenson mengajukan konsep teoretik yang lainIa memperkenalkan istilah stimulus dan mengemukakan bahwa obat menghasilkan stimulus sesuai dengan persamaan berikut :
Description: clip_image016(5)
Di mana e adalah tetapan pembanding yang disebut efficacy. Kekuatan dari pendekatan ini adalah bahwa repon jaringan, yakni parameter yang diamati secara eksperimental, dianggap sebagai fungsi monotonik dari stimulus
:Description: clip_image018(6)
Fungsi monotonik diberi nama hubungan stimulus-respon (http://arimjie.blogspot.com).
            Setiap struktur  molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas  dapat menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai berikut:
afinitas
O + R  < ==========> komplek OR → respon biologis
          Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
        Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya respon biologis.
O + R < ======> O-R → respon (+) :  senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik =1)
O + R < ======> O-R → respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik = 0)
3. Teori Kecepatan
          Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor.
          Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil

      Asosiasi                                  dissolusi
      O + R  < =========> komplek (OR) ——————–> respon biologis
         Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi  (mengikat reseptor ) dan dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
          Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal. Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
          Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran (http://sarmoko.blog.unsoed.ac.)


DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
Lamid, Sofyan. Farmakologi Umum I. EGC: Jakarta
Mycek.2001.Farmakologi Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta
Nugroho, Endro Agung.2012.Prinsip Aksi dan Nasib Obat dalam tubuh.Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta
http://arimjie.blogspot.com/2012/04/model-molekuler-interaksi-obat-reseptor.html 
http://sarmoko.blog.unsoed.ac.id/2012/04/03/interaksi-obat-reseptor/
http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/obat/drug-abuse-penyalahgunaan-obat-dan-mekanisme-ketergantungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar