Secara umum interaksi antara obat dengan reseptor adalah mudah lepas dan
reversibel, dan tidak melibatkan ikatan kimia yang kuat. Analogi aksi obat pada
reseptor adalah konsep kunci ( obat ) dengan gembok ( reseptor ). Asumsi
sederhana mengenai pembentukan kompleks obat dengan reseptor diekspresikan
sebagai reaksi kimia seperti berikut : (
Nugroho, 2012 )
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut Reseptor obat merupakan komponen makromolekul
fungsional yang kencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi
baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada( Nugroho, 2012 )
Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor
obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon,
neurotransmitor) Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut
agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi
menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonit
binding site ) disebut antagonis ( Nugroho, 2012 )
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi
obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja
melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas
biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah
reseptor(Mycek, 2001)
Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk
ligand endogen (hormone, neurotransmitter). Obat yang efeknya menyerupai
senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai
aktivitas intrinsik sehingga sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja
suatu agonis disebut antagonis. Disamping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor fisiologik
akan menimbulkan efek intrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, yang
disebut agonis negative( http://arimjie.blogspot.com)
Protein
merupakan reseptor obat yang paling penting (misalnya reseptor, fisiologis,
asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin, dsb). Asam
nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting. Misalnya untuk
sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik,
van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya, merupakan campuran berbagai
ikatan kovalen diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan yang kuat sehingga lama
kerja obat seringkali, tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian, ikatan
nonkovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen(
http://arimjie.blogspot.com).
Hubungan
Sturuktur-Aktivitas. Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas intrinsiknya. Sehingga perubahan
kecil dalam molekul obat. Misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan
perubahan besar pada sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai struktur
aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang
rasio terapinya lebih baik, atau sintesisi obat yang selektif terhadap jaringan
tertentu. Reseptor Fisiologik. telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah
mikromolekul seluler tempat obat terikat untuk menimbulkan efeknya. Sedangkan
reseptor fisiologik adalah protein seluler yang secara normal berfungsi
sebagai reseptor bagi ligand endogen, terutama hormoin neurotransmitter,
growth factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi peningkatan ligant
yang sesuai (oleh ligand binding domain) dan penghantar sinyal (oleh effector
domain) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intrasel atau secara tidak
langsung memulai sintesis atau penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal
sebagai second messenger( http://arimjie.blogspot.com).
Secara umum, hebatnya reaksi
toksis berhubungan langsung dengan tingginya dosis.dengan mengurangi dosis,
efek dapat dikurangi pula. Salah satu efek toksis yang terkenal yaitu efek
teratogen yaitu obat yang pada dosis terapeutik untuk ibu, mengakibatkan cacat
pada janin. Yang terkenal adalah kasus Thalidomide.
Selain efek toksis dan efek samping yang telah disebut diatas, dikenal juga beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi didalam tubuh sebagai respon dari pemberian obat - obatan kedalam tubuh yaitu sebagai berikut :
A. Toleransi
Selain efek toksis dan efek samping yang telah disebut diatas, dikenal juga beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi didalam tubuh sebagai respon dari pemberian obat - obatan kedalam tubuh yaitu sebagai berikut :
A. Toleransi
Toleransi adalah peristiwa
dimana dosis obat harus dinaikkan terus menerus untuk mencapai efek terapeutik
yang sama. Macam - macam toleransi yaitu :
a. Toleransi primer (bawaan), terdapat pada sebagian orang dan binatang tertentu
a. Toleransi primer (bawaan), terdapat pada sebagian orang dan binatang tertentu
misalnya kelinci sangat toleran dengan
atropin.
b. Toleransi sekunder, yang bisa timbul
setelah menggunakan suatu obat selama beberapa waktu. Organisme menjadi kurang
peka terhadap obat tersebut. Hal ini disebut juga dengan habituasi atau
kebiasaan.
c. Toleransi silang, dapat terjadi antara zat
- zat dengan struktur kimia serupa (fenobarbital dan butobarbital), atau kadang
- kadang antara zat - zat yang berlainan misalnya alkohol dan barbital.
d. Tachyphylaxis, adalah toleransi yang
timbul dengan pesat sekali bila obat diulangi dalam waktu singkat. Mekanisme
ini dipengaruhi oleh peningkatan biotranformasi dan adaptasi reseptor. Proses
ini dapat dikarakteristikkan sebagai reseptor down regulation (pengurangan jumlah atau afinitas reseptor) atau
reseptor upregulation (peningkatan
jumlah atau afinitas reseptor .
B. Habituasi atau Kebiasaan
Habituasi atau kebiasaan
adalah suatu peristiwa dimana organisme menjadi kurang peka terhadap suatu tertentu
yang disebkan karna terlalu sering mengkonsumsi suatu obat. Habituasi dapat
terjadi melalui beberapa cara yaitu dengan induksi enzym,
reseptor sekunder, dan penghambatan resorpsi.
Dengan meningkatkan dosis obat secara terus menerus maka pasien dapat menderita
keracunan, karena efek sampingnya menjadi lebih kuat pula. Habituasi dapat
diatasi dengan menghentikan pemberian obat dan pada umumnya tidak menimbulkan
gejala - gejala penghentian (abstinensi) seperti halnya pada adiksi.
C. Adiksi atau Ketagihan
adiksi atau ketagihan berbeda dengan
habituasi dalam dua hal yakni adanya ketergantungan jasmaniah dan rohaniah dan
bila pengobatannya dihentikan maka dapat menimbulkan efek hebat secara fisik
dan mental.
D. Resistensi Bakteri
Resistensi bakteri adalah suatu keadaan
dimana bakteri telah menjadi kebal terhadap obat karena memiliki daya tahan
yang lebih kuat. Resistensi dapat dihindari dengan menggunakan dosis obat yang
lebih tinggi dibanding dengan dosis minimal dalam waktu pendek dan menggunakan
kombinasi dari dua macam obat atau lebih.
E. Dosis
E. Dosis
Dosis yang diberikan pada pasien untuk
menghasilkan efek yang diinginkan tergantung dari banyak faktor antara lain :
usia, dan berat badan. Takaran pemakaian obat umumnya tercantum dalam
Farmakope. Sebenarnya yang umum dipakai sekarang adalah dosis lazim (usual
dosis).Anak - anak kecil terutama bayi yang baru lahir menunjukkan kepekaan
yang lebih besar terhadap obat, karena fungsi hati, ginjal serta enzim -
enzimnya belum lengkap perkembangannya. Demikian juga terjadi pada orang tua
diatas 65 tahun.
F. Waktu menelan obat
Bagi kebanyakan obat waktu
ditelannya tidak begitu penting, yaitu sebelum atau sesudah makan. Tetapi ada
pula obat dengan sifat atau maksud pengobatan khusus guna menghasilkan efek
maksimal atau menghindarkan efek samping tertentu.
Agar berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis,
molekul obat harus mempunyai struktur dengan derajat spesifitas tinggi.
Interaksi
obat-reseptor dipengaruhi oleh :
a.
Distribusi muatan elektronik dalam obat dan reseptor
b.
Bentuk konformasi obat dan reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat
reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan teori kecepatan(http://sarmoko.blog.unsoed.ac.).
1. Teori Klasik
Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa
aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan
tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat karakteristik(http://sarmoko.blog.unsoed.ac.).
Langley (1878),
dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep
reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich (1907),
memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi
obat reseptor yaitu corpora
non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa
mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat
dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul
asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang
saling mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan
mirip dengan struktur molekul obat(http://sarmoko.blog.unsoed.ac.)
.
2. Teori Pendudukan
Clark (1926)
memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif
selama proses pembentukan kompleks. (http://sarmoko.blog.unsoed.ac.)
Obat (O) akan berinteraksi dengan reseptor (R)
membentuk kompleks obat-reseptor (OR), dan menghasilkan efek biologis. A.J.Clark,
yang pertama kali menerapkan prinsip matematika pada teori reseptor obat. Ia
mengkaji efek asetilkolin pada berbagai jaringan terpisah dan mencatat bahwa hubungan
antara konsentrasi obat dan respon berkaitan erat dengan persamaan :
Di mana x adalah konsentrasi obat dan y adalah persentase dari respon maksimal terhadap obat. Penyusunan ulang dari persamaan (1) menghasilkan bentuk persamaan isoterm adsorbsi Langmuir :
Clark menerbitkan suatu risalah pada tahun 1937 yang merangkum dan mengembangkan teori tentang interaksi obat – reseptor. Masalah utama pada saat itu adalah kurangnya pengetahuan tentang hubungan antara pendudukan reseptor dan respon jaringan. Oleh karena itu, asumsi yang paling sederhana yang dibuat oleh Clark dalam risalah itu adalah :
· Respon maksimum terhadap suatu obat (Em)
adalah respon maksimum jaringan
· Respon jaringan fraksional (EA/Em) berbanding langsung dengan pendudukan reseptor fraksional( http://arimjie.blogspot.com).
· Respon jaringan fraksional (EA/Em) berbanding langsung dengan pendudukan reseptor fraksional( http://arimjie.blogspot.com).
Dalam hal ini, persamaan berikut menggambarkan respon
obat A dalam jaringan, sebagaimana dijelaskan oleh Clark :
Di mana KA adalah tetapan disosiasi kesetimbangan kompleks obat-reseptor. Clark mengakui bahwa hubungan antara pendudukan reseptor oleh suatu obat dan menghasilkan respon tidaklah linier pada kebanyakan kasus, dan efek obat, sebagaimana digambarkan pada persamaan (3), terbatas (http://arimjie.blogspot.com).
Besarnya efek biologis yang
dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas yang diduduki
molekul obat. Clark hanya meninjau dari
segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum
(1937), yang meninjau dari sisi antagonis.Jadi respons biologis yang terjadi
setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis
)
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi
obat-reseptor menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Tetapan ini digunakan untuk menjawab
fakta bahwa sebagian agonis menghasilkan respon maksimum yang lebih kecil
daripada respon maksimum terhadap agonis lain. Ia menyebut tetapan pembanding
ini sebagai aktivitas intrinsik (disimbol α); penyisipan faktor ini memberikan
efek obat sebagai :
Skala untuk α adalah 1 untuk agonis penuh, dan 0 untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon jaringan langsung. Nilai α = 0,4 berarti bahwa agonis mampu menghasilkan 40% dari respon maksimum jaringan (agonis parsial). Meskipun hal ini merupakan rintisan jalan untuk membuat model efek obat yang lebih berhubungan erat dengan hasil eksperimen, namun masih belum ada bukti pengamatan bagaimana agonis menghasilkan respon maksimum pada nilai pendudukan reseptor yang relatif lebih rendah. Seorang farmakolog Inggris, R.P.Stephenson mengajukan konsep teoretik yang lainIa memperkenalkan istilah stimulus dan mengemukakan bahwa obat menghasilkan stimulus sesuai dengan persamaan berikut :
Di mana e adalah tetapan pembanding yang disebut efficacy. Kekuatan dari pendekatan ini adalah bahwa repon jaringan, yakni parameter yang diamati secara eksperimental, dianggap sebagai fungsi monotonik dari stimulus
Setiap struktur molekul obat
harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang afinitas
interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon
biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai
berikut:
afinitas
O + R < ==========> komplek
OR → respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan
obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat bergantung dari struktur molekul
obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk
memulai timbulnya respon biologis.
O + R < ======> O-R → respon (+)
: senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik =1)
O + R < ======> O-R → respon (-)
: senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik = 0)
3. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956)
memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan
reseptor.
Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis
obat setara dengan kecepatan kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor
yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan
penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil
Asosiasi
dissolusi
O + R < =========> komplek (OR) ——————–> respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki
kecepatan asosiasi (mengikat reseptor ) dan dissolusi yang besar. Senyawa
dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor) dan
dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi
asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika
kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal. Konsep di atas ditunjang
oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek rangsangan singkat
sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada
permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat
masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga
timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul
obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai
di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran (http://sarmoko.blog.unsoed.ac.)
DAFTAR
PUSTAKA
Ganiswara,
S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta
Katzung.1989.Farmakologi
Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
Lamid,
Sofyan. Farmakologi Umum I. EGC: Jakarta
Mycek.2001.Farmakologi Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta
Mycek.2001.Farmakologi Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta
Nugroho,
Endro Agung.2012.Prinsip Aksi dan Nasib Obat dalam tubuh.Pustaka Pelajar :
Yogyakarta
Terapi. Edisi 4.. Bagian
Farmakologi FK UI: Jakarta
http://arimjie.blogspot.com/2012/04/model-molekuler-interaksi-obat-reseptor.html
http://sarmoko.blog.unsoed.ac.id/2012/04/03/interaksi-obat-reseptor/
http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/obat/drug-abuse-penyalahgunaan-obat-dan-mekanisme-ketergantungan/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar