Uji
farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil
farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon
obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus,
kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata,
hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat
(http://healthcare-pharmacist.blogspot.com)
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan
apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama
dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan
bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia (http://healthcare-pharmacist.blogspot.com)
Tahap-Tahap Pengembangan dan
Penilaian Obat
1. Meniliti dan skrining bahan obat.
2. Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada dan diketahui efek farmakologinya
3. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur
4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang dilaksanakan secara sistematik, terencana dan terarah untuk mendapatkan data farmakologik yang mempunyai nilai terapetik (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji :
1. Uji Praklinik
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji. Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antaralain :(http://jendelafarmasi.blogspot.com)
a) Uji Farmakodinamika
Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik seperti yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.
b) Uji Farmakokinetik
- Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi)
- Merancang dosis dan aturan pakai
c) Uji Toksikologi
- Mengetahui keamanannya
d) Uji Farmasetika
- Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.
2. Uji Klinik
1. Meniliti dan skrining bahan obat.
2. Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada dan diketahui efek farmakologinya
3. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur
4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang dilaksanakan secara sistematik, terencana dan terarah untuk mendapatkan data farmakologik yang mempunyai nilai terapetik (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji :
1. Uji Praklinik
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji. Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antaralain :(http://jendelafarmasi.blogspot.com)
a) Uji Farmakodinamika
Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik seperti yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.
b) Uji Farmakokinetik
- Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi)
- Merancang dosis dan aturan pakai
c) Uji Toksikologi
- Mengetahui keamanannya
d) Uji Farmasetika
- Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.
2. Uji Klinik
Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada
manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik
(Katzung, 1989)
UJI
KLINIK: Pada dasarnya
uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang
sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri
dari uji fase I sampai fase IV (Ganiswara, 1995).
a) Uji
Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru
untuk pertama kalinya pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan
tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat,
kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada pasien
karena alasan etik Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal
yang dapat toleransi (maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum
timbul efek toksik yang tidak dapat diterima. Pada fase ini, diteliti juga
sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian
farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada
penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka, artinya
tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek bervariasi antara
20-50orang (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada
sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya
ialah melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau
tidak untuk pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli
dalam masing-masing bidang yang terlibat. Mereka harus ikut berperan dalam
membuat protocol penelitian yang harus dinilai terlebih dulu oleh panitia kode
etik lokal. Protokol penelitian harus diikuti dengan dengan ketat, seleksi
penderita harus cermat, dan setiap penderita harus dimonitor dengan intensif
(Ganiswara, 1995).
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan
secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap
biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang
bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil
pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek placebo
(Ganiswara, 1995).
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu
dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila
penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat
standard yang telah dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase
III, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring
penderitanya. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi
penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini
dsebut uji klinik acak tersamar ganda
berpembanding.
Pada
fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan dosis optimal
yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai
eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru
pada fase ini antara 100-200 penderita (Ganiswara, 1995).
b ) Uji Klinik Fase II
Pada
fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat apakah obat ini
memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan
secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum
dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya(Ganiswara, 1995).
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya(Ganiswara, 1995).
c
) Uji Klinik Fase III
-Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan
kelompok pembanding
- Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman (misal : intra ras
- Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
- Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman (misal : intra ras
- Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu
obat-baru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II)
dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard. Penelitian
ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila
digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’; (2)
efek samping lain yang belum terlihat pada fase II; (3) dan dampak
penggunaannya pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat (Ganiswara,
1995).
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita
yang tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu
ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari
dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan
dengan placebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis
ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang
ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda.
Bila
hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan
efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang
diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang (Ganiswara, 1995).
d) Uji Klinik Fase IV
- Uji terhadap obat yang telah
dipasarkan (post marketing surveilance)
- Mamantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya
- Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
- MESO : Monitoring Efek Samping Obat
- Mamantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya
- Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
- MESO : Monitoring Efek Samping Obat
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan pengamatan
terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola
penggunaan obat di masyarakat serta pola efektifitas dan keamanannya pada
penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat pada protocol
penelitian; tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besarnya dosis,
dan lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita makan obat
merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan survey epidemiologic menyangkut
efek samping maupun efektif obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek
samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat
bertahun-tahun lamanya, (2) efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat
atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah
penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan
berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga berupa uji
klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap
morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu
obat baru, mulai dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.
Setelah
suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan kemungkinan
manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat demikian kemudian
diteliti kembali di klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I.
Hal seperti ini terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai
antireumatik dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan
belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa (Ganiswara,
1995)
DAFTAR
PUSTAKA
Ganiswara,
S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian
Farmakologi FK UI: Jakarta
Hoan
Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting, Khasiat,
penggunaan dan efek
sampingnya
: Elexmedia Computindo
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta

